Rabu, 16 April 2014

Udah ada 9 cerpen yang udah Gue bikin dan share. Tapi Gue belum perkenalkan diri ke Kalian semua. Ini dia biodata Gue...

Nama Lengkap : Fahira Anggita Mulya
Nama Panggilan : Gita
Kelas : 8
Sekolah : SMPN 4 Tangerang
TTL : Jakarta, 2 Desember 1999
Zodiak : Sagitarius
Shio : Kelinci
Cita-cita : Dokter & Penulis
Hobi : Mengarang, Menyanyi, Mendegarkan musik dan Nonton anime
TK : TK Kenanga, Jakarta Pusat
SD : SDN Poris Gaga 4 Tangerang (cuma 1 tahun) & SDN Cipondoh 1 Tangerang
Twitter : @gitafahira2
Facebook : Fahira Anggita Mulya
Path : Fahira Anggita Mulya
Instagram : @gitafahira2
Ask.fm : @GitaFahira

Soundcloud : @gitafahira12

Sabtu, 05 April 2014

PERJUANGAN SEORANG ANAK

Ini adalah cerpen yang membuat gue menang juara 3 di lomba membuat cerpen antar sekolah. Penasaran? Ini dia...

Namaku Rahma. Aku berumur 11 tahun. Aku mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Vika. Ia berumur 9 tahun. Kehidupan Kami sangat menyedihkan. Bapak seorang nelayan dan Ibu seorang penjual gorengan. Tetapi Aku sangat mensyukuri pemberian dari Allah.
Aku dan Vika mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Karena saat Aku kelas 4 dan Vika kelas 2 SD, Kami memenangkan lomba puisi tingkat Desa. Ternyata hadiah nya berupa beasiswa sampai lulus SD. Kami sangat bersyukur bisa mendapatkan beasiswa dan mendapatkan kesempatan untuk bersekolah lagi.
Suatu hari, saat Aku sedang membaca buku. Temanku yang bernama Elsa menghampiriku. “Rahma, Kamu ikut tidak pengambilan nilai renang Minggu besok?” tanya Elsa. ”Sepertinya tidak,” jawab Rahma. “Loh, kenapa?” tanya Elsa bingung. “Kamu kan tahu. Keluarga Aku seperti apa? Aku tidak mempunyai uang untuk membeli tiket nya,” jawab Rahma. “Yah, sayang sekali. Itu kan untuk penambahan nilai,” jawab Elsa kecewa.”Sebenarnya Aku juga ingin ikut. Tetapi orang tuaku tidak punya uang,” jawab Rahma. Elsa adalah sahabatku yang sangat baik. Hanya Elsa yang bisa mengerti posisiku.
Ketika bel pulang berdering, Aku segera keluar kelas dan menjemput Vika. Kebiasaan Kami ketika pulang sekolah adalah membantu Ibu berjualan di jalan. Ibu adalah pedagang gorengan keliling. Kami sangat senang bisa membantu Ibu. “Semoga hari ini laku banyak ya kak.” ucap Vika. “Amin,” jawab Rahma. Selain di jalan, Ibu berjualan di kantin sekolah. Setiap pagi Aku selalu menaruh dagangan Ibu dan sepulang sekolah, Aku mengambil uang gorengan yang laku. ”Neng. Ini uang nya. Hari ini banyak sekali yang membeli gorengan nya. Semua habis terjual. Besok Ibu pesan tiga puluh ya,” ucap Ibu Sarti sambil memberikan uang hasil laku nya gorengan. ”Alhamdulillah, siap bu. Ya sudah, Kami pulang dulu ya. Assalamu’alaikum,” jawab Rahma senang dan berpamitan ke Ibu Sarti. ”Wa’alaikumsalam,” jawab Ibu Sarti.
”Alhamdulillah, laku terjual. Semua habis tak tersisa,” ucap Rahma sangat senang karena gorengan nya laku semua. ”Iya kak. Ibu pasti senang,” jawab Vika tersenyum.
Ketika di jalan, Kami bertemu dua orang preman. ”Berani sekali Kalian lewat daerah Kami. Jika Kalian ingin lewat jalan ini, Kalian harus bayar. Mana uang Kalian?!” dengan wajah yang sangat seram, kedua preman itu memalak Kami. ”Kami tidak punya uang Om” jawab Vika terbata-bata. ”Bohong!” bentak Preman itu. Lalu, preman itu mengambil uang dari saku seragamku. ”Ini apa?! Kalian pikir, Kalian bisa membohingi kami?” bentak preman sambil memegang uang hasil dagang Ibu di kantin. ”Jangan Om. Itu uang hasil dagang Ibu Kami di kantin,” ucap Rahma memohon agar preman itu mengembalikan uang nya. ”Kami tidak peduli!” jawab preman itu dan segera pergi meninggalkan Rahma dan Vika. ”Duh. Bagaimana nih kak? Ibu pasti sedih uang nya tidak ada,” ucap Vika panik. ”Kakak juga bingung. Tetapi, Kita harus jujur. Bahwa uang nya di ambil oleh preman,” jawab Rahma memberikan jalan keluar. Kami pun melanjutkan jalan dengan perasaan sedih dan khawatir jika Ibu akan marah karena uang nya hilang.
Sesampainya di depan rumah, Ibu sudah siap-siap ingin dagang. Kami takut untuk bertemu Ibu. Ibu pun melihat Kami, ”Rahma, Vika. Kok diam saja di situ? Sini bantu Ibu berkemas,” panggil Ibu. Kami pun memberanikan diri untuk menghampiri Ibu. ”Wajah Kalian kenapa pucat? Kalian sakit?” tanya Ibu panik. ”Kita tidak apa-apa” jawab Rahma bohong. ”Lalu, kenapa wajah Kalian pucat?” tanya Ibu penasaran. ”Kita tidak apa-apa bu,” Rahma kembali berbohong. ”Kalian jangan bohong!” jawab Ibu mulai kesal.  ”uang nya di ambil sama preman. Aku sudah berusaha agar uang dagangan nya tidak di ambil. Tapi…, di ambil juga,” jawab Rahma terbata-bata. ”Ya sudah tidak apa-apa. Mungkin belum rezeki Kita. Kalian ingin ikut Ibu tidak?” tanya Ibu membuat kedua putri nya terbebas dari rasa takut. ”Mau...,” jawab Rahma dan Vika senang. Kami pun segera masuk kamar dan mengganti baju.
”Syukur lah Ibu tidak marah. Aku sudah takut jika Ibu akan memarahi Kita,” ucap Vika sambil menghembuskan nafas tanda sudah tidak ada beban. ”Iya benar sekali. Kakak juga tidak tahu jika Ibu sampai marah.” jawab Rahma.
Setelah Kami mengganti baju, Kami segera jalan membantu Ibu jualan. Kami sangat senang membantu dan menemani Ibu berjualan.
Ketika Kami sedang menjajakan dagangan Kami, tiba-tiba saja ada Kantipnas. Kami semua lari. Kami lari sekuat mungkin. Kami melihat ada sebuah gang. Kami bersembunyi di sana. Lama kami bersembunyi. ”Vik. Coba lihat deh. Masih ada atau tidak?” ucap Rahma menyuruh adik nya. Vika pun mengintip dan tidak ada siapa-siapa. ”Sudah tidak ada kak, bu. Ayo kita keluar,” jawab Vika dengan suara sangat pelan. Kami pun keluar dari tempat persembunyian kami.
”Yah. Semua dagangan Kita hancur. Kita baru saja menjual sepuluh gorengan,” ucap Rahma kecewa melihat dagangan nya berserakan dimana-mana. ”Iya kak,” jawab Vika sedih. ”Sudah tidak apa-apa. Mungkin ini bukan rezeki Kita,” jawab Ibu menenangkan hati kedua putri nya. ”Hari ini hari yang sangat sial untuk keluarga Kita!” jawab Rahma kesal. ”Ssstt. Tidak boleh bicara seperti itu. Alhamdulillah keluarga Kita masih di beri pekerjaan. Coba kalau Bapak dan Ibu tidak mempunyai pekerjaan. Kalian tidak bisa bersekolah dan makan. Kita harus bersyukur atas semua pemberian Allah kepada Kita. Coba Kalian lihat anak jalanan. Mereka tidak bersekolah. Mereka bekerja untuk mendapatkan sesuap nasi. Panas-panasan, kehujanan. Kita masih bersyukur. Bapak bekerja sebagai nelayan. Ibu bekerja sebagai penjual gorengan. Ya walaupun tidak seberapa. Yang penting Bapak dan Ibu ada penghasilan tiap bulan dan cukup untuk makan sehari-hari,” Ibu menjelaskan secara detail dan membuat Rahma dan Vika tersadar. ”Ibu benar. Kami tidak bersyukur atas semua nikmat yang Allah telah berikan kepada keluarga Kita,” jawab Rahma tersadar akan semua perkataan yang Ia ucapkan tadi. Vika mengangguk tanda setuju dengan apa yang kakak nya katakan. “Ibu tahu kalian sangat kesal. Semua manusia pasti mempunyai emosi masing-masing. Tapi kalian harus janji sama Ibu. Kalian harus menjaga emosi kalian. Jangan sampai Kalian hilang kendali dan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas untuk di ucapkan.  Jika kalian mempunyai masalah, segera lah Istigfar,” jawab Ibu. Rahma dan Vika mengangguk.
Kami pun segera pulang dengan perasaan sedih dan hanya membawa uang Rp 5.000,00.
Sesampainya Kami di rumah, Kami melihat banyak sekali orang berkumpul di depan rumah Kami. Kami pun bingung, kenapa ada banyak orang. Kami segera masuk. ”Permisi. Ada apa ini?” Aku pun melihat Bapak terbaring di tempat tidur. Wajahnya sangat pucat. Aku pun langsung menghampiri Bapak. ”Bapak! Bapak kenapa?!” tanya Rahma khawatir. ”Yang sabar ya nak Rahma. Bapak Kamu sudah pergi. Perahu yang Bapak Kamu naiki terbalik dan Bapak Kamu tidak selamat,” jawab Pak RT. “Tidak mungkin! Bapak! Bapak bangun!!! Bapak kan sudah janji ingin membelikan Aku dan Vika sepatu dan tas baru. Kenapa Bapak pergi meninggalkan Kami?!” Rahma pun menangis. ”Bapak!!!” teriak Vika ketika masuk dan melihat Bapak sedang terbaring lemah dengan wajah yang sangat pucat. ”Astagfirullah. Mas Anas,” Ibu terkejut melihat keadaan Bapak dan hampir pingsan. Aku dan Vika menangis tanpa henti. Aku tidak tahu perasaanku saat ini. Bagaikan tertusuk dengan pisau yang sangat tajam dan bagaikan petir menyambar. Mendengar Bapak telah tiada.
Aku sangat sayang Bapak. Jika Bapak tidak berlayar, Bapak selalu membantu Aku mengerjakan pr. Sekarang Bapak sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang membantu Aku mengerjakan pr. Tidak ada lagi yang membuat suasana rumah menjadi ramai.
Ya Allah. Kenapa Kau memberikan cobaan untuk  keluarga Kami secara bersamaan? Kami baru saja kehilangan uang dan dagangan Kami hancur. Kenapa Kau harus mengambil Bapakku juga?  Begitulah isi hatiku saat ini.
Andai waktu ku ulang. Aku akan mencegah Bapak berlayar dan mungkin saat ini Bapak masih ada.
Hari demi hari Kami lalui tanpa Bapak. Ibu mendapatkan sebuah pekerjaan sebagai pembantu di Jakarta. Sekarang Kami tinggal di rumah Bibi Kami yang tidak jauh dari rumah Kami. Aku dan Vika berjanji, akan menjadi anak yang pintar dan bisa membuat Ibu bahagia.
Kami semakin rajin belajar. Kami mendapatkan ranking satu di kelas. Aku pun lulus dengan nilai yang sangat tinggi. Nilaiku tertinggi pertama dari 300 siswa. Aku mendapatkan beasiswa lagi. Aku adalah salah satu murid yang sangat beruntung. Sudah mendapatkan dua kali beasiswa. Vika pun sama sepertiku. Dia mendapatkan ranking satu.
Setelah mengambil rapor, Kami mengunjungi makam Bapak. Kami sering ke sana untuk laporan. Laporan hasil belajar Kami.
Sesampainya di makam Bapak, Kami pun mengeluarkan semua unek-unek yang ada di dalam hati Kami. ”Bapak tahu tidak? Aku dan Vika mendapatkan ranking satu lagi untuk ke enam kali nya. Andai Bapak ada di sini. Pasti Bapak akan senang melihat Kami mendapatkan nilai yang bagus,” ucap Rahma. ”Kami sangat rindu dengan Bapak. Sekarang Kami tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Ibu sedang mencari uang di Jakara. Sekarang Kami tinggal di rumah Bibi Heni,” lanjut Vika. Kami meneteskan air mata di atas makam Bapak. Aku masih tidak percaya bahwa Bapak telah pergi meninggalkan Kami semua.
Selesai berziarah, Kami segera pulang. Khawatir Bibi mencari Kami.
Hari berganti dengan hari. Waktu berganti dengan waktu. Tahun berganti dengan tahun. 10 tahun kemudian. Aku telah menjadi seorang penulis terkenal. Sudah banyak novel, cerpen, dan masih banyak lagi. Sejak SD Aku memang sudah suka mengarang . Ada dua novel karyaku yang sudah di buat film. Dua cerita itu tentang kejadian nyata ku saat masih kecil dulu. Kehidupanku sudah tidak suram lagi. Sekarang Vika menjadi seorang mahasiswi jurusan perawat. Dan, Ibu sudah tidak bekerja lagi. Ibu sudah tidak mampu bekerja lagi. Sekarang gantian. Aku lah yang bekerja untuk Ibu. Ibu sangat bahagia melihat kedua putri nya sudah sukses. Sekarang Kami mempunyai rumah di Jakarta. Rumah yang di Desa sudah Kami jual untuk biaya kuliah Kami. Saat ini, Aku kuliah sambil kerja. Untuk mencukupi kehidupan Kami.
”Bu. Rencana nya besok Aku dan Vika ingin ziarah ke makam Bapak. Apakah Ibu ingin ikut?” tanya Rahma. ”Tentu saja Ibu ingin ikut. Sudah lama sekali Ibu tidak ziarah ke makam Bapak,” jawab Ibu. ”Ya sudah. Sekarang, Ibu istirahat. Agar besok Kita jalan, Ibu sehat bugar,” lanjut Vika. ”Siap komandan,” jawab Ibu. ”Hahaha. Ibu bisa saja,” Rahma tertawa mendengar dan melihat kelakuan Ibu nya. Ibu pun masuk ke kamar. ”De”, ”Iya kak?” jawab Vika. ”Kakak sangat bahagia sekali. Karena kehidupan Kita tidak suram lagi. Tidak ada lagi jualan-jualan, sedih, dan lain-lain,” Rahma tersenyum. ”Iya kak. Aku juga sangat bersyukur karena Allah telah mengabulkan do’a Kita,” jawab Vika. ”Sekarang yang paling penting adalah, Kita harus membagi waktu untuk mengurus Ibu. Karena hanya Ibu yang Kita miliki saat ini,”, ”Benar sekali kak,” jawab Vika. Ketika Aku sedang berbicara dengan Vika, tiba-tiba saja mataku tertuju ke arah foto Bapak. Aku pun mengambil foto Bapak. “Andai saja Bapak masih ada. Bapak pasti sangat senang melihat Kita sudah sukses,” memegangi foto Bapak. Vika mengangguk tanda setuju dengan yang di katakana kakak nya itu.
Keesokan hari nya
Kami telah sampai di makam Bapak. Makam Bapak tetap terjaga walaupun Kami jarang berziarah. Karena Aku membayar orang untuk membersihkan makam Bapak.
”Mas. Ini aku, Sri. Sudah lama sekali Aku tidak menengok Mas. Karena Aku sudah tidak kuat untuk jalan jauh. Mas. Anak-anak Kita sudah sukses. Impian kita terkabul Mas. Ya walaupun Mas tidak bisa bersama-sama dengan Kami. Aku tahu, pasti Mas juga senang melihat kedua putri Kita sudah sukses,” ucap Ibu. Perkataan Ibu cukup membuat Kami meneteskan air mata. “Rahma, Vika. Bacakan Surah Al-Fatihah dan doakan agar Bapakmu di terima di sisi Allah SWT,” lanjut Ibu. Aku dan Vika mengangguk. Untuk kesekian kali nya, Aku meneteskan air mata di  atas makam Bapak. Aku belum bisa melupakan sosok seorang Bapak yang sangat sayang kepada keluarga. Aku menangis sesegukan. Vika pun sama. Kami akan selalu menyayangi kedua orang tua Kami. Sebagaimana orang tua yang telah mendidik Kami sampai ke pendidikan tertinggi.

TAMAT