Ini adalah cerpen yang membuat gue menang juara 3 di lomba membuat cerpen antar sekolah. Penasaran? Ini dia...
Namaku
Rahma. Aku berumur 11 tahun. Aku mempunyai seorang adik perempuan yang bernama
Vika. Ia berumur 9 tahun. Kehidupan Kami sangat menyedihkan. Bapak seorang
nelayan dan Ibu seorang penjual gorengan. Tetapi Aku sangat mensyukuri
pemberian dari Allah.
Aku dan Vika
mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Karena saat Aku kelas 4 dan Vika kelas 2
SD, Kami memenangkan lomba puisi tingkat Desa. Ternyata hadiah nya berupa
beasiswa sampai lulus SD. Kami sangat bersyukur bisa mendapatkan beasiswa dan
mendapatkan kesempatan untuk bersekolah lagi.
Suatu hari,
saat Aku sedang membaca buku. Temanku yang bernama Elsa menghampiriku. “Rahma,
Kamu ikut tidak pengambilan nilai renang Minggu besok?” tanya Elsa. ”Sepertinya
tidak,” jawab Rahma. “Loh, kenapa?” tanya Elsa bingung. “Kamu kan tahu.
Keluarga Aku seperti apa? Aku tidak mempunyai uang untuk membeli tiket nya,”
jawab Rahma. “Yah, sayang sekali. Itu kan untuk penambahan nilai,” jawab Elsa
kecewa.”Sebenarnya Aku juga ingin ikut. Tetapi orang tuaku tidak punya uang,”
jawab Rahma. Elsa adalah sahabatku yang sangat baik. Hanya Elsa yang bisa
mengerti posisiku.
Ketika bel
pulang berdering, Aku segera keluar kelas dan menjemput Vika. Kebiasaan Kami
ketika pulang sekolah adalah membantu Ibu berjualan di jalan. Ibu adalah
pedagang gorengan keliling. Kami sangat senang bisa membantu Ibu. “Semoga hari
ini laku banyak ya kak.” ucap Vika. “Amin,” jawab Rahma. Selain di jalan, Ibu
berjualan di kantin sekolah. Setiap pagi Aku selalu menaruh dagangan Ibu dan
sepulang sekolah, Aku mengambil uang gorengan yang laku. ”Neng. Ini uang nya.
Hari ini banyak sekali yang membeli gorengan nya. Semua habis terjual. Besok Ibu
pesan tiga puluh ya,” ucap Ibu Sarti sambil memberikan uang hasil laku nya
gorengan. ”Alhamdulillah, siap bu. Ya sudah, Kami pulang dulu ya.
Assalamu’alaikum,” jawab Rahma senang dan berpamitan ke Ibu Sarti. ”Wa’alaikumsalam,”
jawab Ibu Sarti.
”Alhamdulillah,
laku terjual. Semua habis tak tersisa,” ucap Rahma sangat senang karena
gorengan nya laku semua. ”Iya kak. Ibu pasti senang,” jawab Vika tersenyum.
Ketika di
jalan, Kami bertemu dua orang preman. ”Berani sekali Kalian lewat daerah Kami.
Jika Kalian ingin lewat jalan ini, Kalian harus bayar. Mana uang Kalian?!”
dengan wajah yang sangat seram, kedua preman itu memalak Kami. ”Kami tidak
punya uang Om” jawab Vika terbata-bata. ”Bohong!” bentak Preman itu. Lalu,
preman itu mengambil uang dari saku seragamku. ”Ini apa?! Kalian pikir, Kalian
bisa membohingi kami?” bentak preman sambil memegang uang hasil dagang Ibu di kantin.
”Jangan Om. Itu uang hasil dagang Ibu Kami di kantin,” ucap Rahma memohon agar
preman itu mengembalikan uang nya. ”Kami tidak peduli!” jawab preman itu dan
segera pergi meninggalkan Rahma dan Vika. ”Duh. Bagaimana nih kak? Ibu pasti
sedih uang nya tidak ada,” ucap Vika panik. ”Kakak juga bingung. Tetapi, Kita
harus jujur. Bahwa uang nya di ambil oleh preman,” jawab Rahma memberikan jalan
keluar. Kami pun melanjutkan jalan dengan perasaan sedih dan khawatir jika Ibu
akan marah karena uang nya hilang.
Sesampainya
di depan rumah, Ibu sudah siap-siap ingin dagang. Kami takut untuk bertemu Ibu.
Ibu pun melihat Kami, ”Rahma, Vika. Kok diam saja di situ? Sini bantu Ibu
berkemas,” panggil Ibu. Kami pun memberanikan diri untuk menghampiri Ibu. ”Wajah
Kalian kenapa pucat? Kalian sakit?” tanya Ibu panik. ”Kita tidak apa-apa” jawab
Rahma bohong. ”Lalu, kenapa wajah Kalian pucat?” tanya Ibu penasaran. ”Kita tidak
apa-apa bu,” Rahma kembali berbohong. ”Kalian jangan bohong!” jawab Ibu mulai kesal. ”uang nya di ambil sama preman. Aku sudah
berusaha agar uang dagangan nya tidak di ambil. Tapi…, di ambil juga,” jawab
Rahma terbata-bata. ”Ya sudah tidak apa-apa. Mungkin belum rezeki Kita. Kalian
ingin ikut Ibu tidak?” tanya Ibu membuat kedua putri nya terbebas dari rasa
takut. ”Mau...,” jawab Rahma dan Vika senang. Kami pun segera masuk kamar dan
mengganti baju.
”Syukur lah
Ibu tidak marah. Aku sudah takut jika Ibu akan memarahi Kita,” ucap Vika sambil
menghembuskan nafas tanda sudah tidak ada beban. ”Iya benar sekali. Kakak juga
tidak tahu jika Ibu sampai marah.” jawab Rahma.
Setelah Kami
mengganti baju, Kami segera jalan membantu Ibu jualan. Kami sangat senang
membantu dan menemani Ibu berjualan.
Ketika Kami
sedang menjajakan dagangan Kami, tiba-tiba saja ada Kantipnas. Kami semua lari.
Kami lari sekuat mungkin. Kami melihat ada sebuah gang. Kami bersembunyi di
sana. Lama kami bersembunyi. ”Vik. Coba lihat deh. Masih ada atau tidak?” ucap
Rahma menyuruh adik nya. Vika pun mengintip dan tidak ada siapa-siapa. ”Sudah
tidak ada kak, bu. Ayo kita keluar,” jawab Vika dengan suara sangat pelan. Kami
pun keluar dari tempat persembunyian kami.
”Yah. Semua
dagangan Kita hancur. Kita baru saja menjual sepuluh gorengan,” ucap Rahma
kecewa melihat dagangan nya berserakan dimana-mana. ”Iya kak,” jawab Vika sedih.
”Sudah tidak apa-apa. Mungkin ini bukan rezeki Kita,” jawab Ibu menenangkan
hati kedua putri nya. ”Hari ini hari yang sangat sial untuk keluarga Kita!” jawab
Rahma kesal. ”Ssstt. Tidak boleh bicara seperti itu. Alhamdulillah keluarga Kita
masih di beri pekerjaan. Coba kalau Bapak dan Ibu tidak mempunyai pekerjaan.
Kalian tidak bisa bersekolah dan makan. Kita harus bersyukur atas semua
pemberian Allah kepada Kita. Coba Kalian lihat anak jalanan. Mereka tidak
bersekolah. Mereka bekerja untuk mendapatkan sesuap nasi. Panas-panasan,
kehujanan. Kita masih bersyukur. Bapak bekerja sebagai nelayan. Ibu bekerja
sebagai penjual gorengan. Ya walaupun tidak seberapa. Yang penting Bapak dan
Ibu ada penghasilan tiap bulan dan cukup untuk makan sehari-hari,” Ibu
menjelaskan secara detail dan membuat Rahma dan Vika tersadar. ”Ibu benar. Kami
tidak bersyukur atas semua nikmat yang Allah telah berikan kepada keluarga Kita,”
jawab Rahma tersadar akan semua perkataan yang Ia ucapkan tadi. Vika mengangguk
tanda setuju dengan apa yang kakak nya katakan. “Ibu tahu kalian sangat kesal.
Semua manusia pasti mempunyai emosi masing-masing. Tapi kalian harus janji sama
Ibu. Kalian harus menjaga emosi kalian. Jangan sampai Kalian hilang kendali dan
mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas untuk di ucapkan. Jika kalian mempunyai masalah, segera lah
Istigfar,” jawab Ibu. Rahma dan Vika mengangguk.
Kami pun
segera pulang dengan perasaan sedih dan hanya membawa uang Rp 5.000,00.
Sesampainya
Kami di rumah, Kami melihat banyak sekali orang berkumpul di depan rumah Kami.
Kami pun bingung, kenapa ada banyak orang. Kami segera masuk. ”Permisi. Ada apa
ini?” Aku pun melihat Bapak terbaring di tempat tidur. Wajahnya sangat pucat.
Aku pun langsung menghampiri Bapak. ”Bapak! Bapak kenapa?!” tanya Rahma
khawatir. ”Yang sabar ya nak Rahma. Bapak Kamu sudah pergi. Perahu yang Bapak
Kamu naiki terbalik dan Bapak Kamu tidak selamat,” jawab Pak RT. “Tidak
mungkin! Bapak! Bapak bangun!!! Bapak kan sudah janji ingin membelikan Aku dan
Vika sepatu dan tas baru. Kenapa Bapak pergi meninggalkan Kami?!” Rahma pun
menangis. ”Bapak!!!” teriak Vika ketika masuk dan melihat Bapak sedang
terbaring lemah dengan wajah yang sangat pucat. ”Astagfirullah. Mas Anas,” Ibu
terkejut melihat keadaan Bapak dan hampir pingsan. Aku dan Vika menangis tanpa
henti. Aku tidak tahu perasaanku saat ini. Bagaikan tertusuk dengan pisau yang
sangat tajam dan bagaikan petir menyambar. Mendengar Bapak telah tiada.
Aku sangat
sayang Bapak. Jika Bapak tidak berlayar, Bapak selalu membantu Aku mengerjakan
pr. Sekarang Bapak sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang membantu Aku
mengerjakan pr. Tidak ada lagi yang membuat suasana rumah menjadi ramai.
Ya Allah. Kenapa Kau memberikan
cobaan untuk keluarga Kami secara
bersamaan? Kami baru saja kehilangan uang dan dagangan Kami hancur. Kenapa Kau
harus mengambil Bapakku juga? Begitulah isi hatiku saat ini.
Andai waktu ku
ulang. Aku akan mencegah Bapak berlayar dan mungkin saat ini Bapak masih ada.
Hari demi
hari Kami lalui tanpa Bapak. Ibu mendapatkan sebuah pekerjaan sebagai pembantu
di Jakarta. Sekarang Kami tinggal di rumah Bibi Kami yang tidak jauh dari rumah
Kami. Aku dan Vika berjanji, akan menjadi anak yang pintar dan bisa membuat Ibu
bahagia.
Kami semakin
rajin belajar. Kami mendapatkan ranking satu di kelas. Aku pun lulus dengan
nilai yang sangat tinggi. Nilaiku tertinggi pertama dari 300 siswa. Aku
mendapatkan beasiswa lagi. Aku adalah salah satu murid yang sangat beruntung. Sudah
mendapatkan dua kali beasiswa. Vika pun sama sepertiku. Dia mendapatkan ranking
satu.
Setelah
mengambil rapor, Kami mengunjungi makam Bapak. Kami sering ke sana untuk laporan.
Laporan hasil belajar Kami.
Sesampainya
di makam Bapak, Kami pun mengeluarkan semua unek-unek yang ada di dalam hati
Kami. ”Bapak tahu tidak? Aku dan Vika mendapatkan ranking satu lagi untuk ke
enam kali nya. Andai Bapak ada di sini. Pasti Bapak akan senang melihat Kami
mendapatkan nilai yang bagus,” ucap Rahma. ”Kami sangat rindu dengan Bapak.
Sekarang Kami tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Ibu sedang mencari uang di
Jakara. Sekarang Kami tinggal di rumah Bibi Heni,” lanjut Vika. Kami meneteskan
air mata di atas makam Bapak. Aku masih tidak percaya bahwa Bapak telah pergi
meninggalkan Kami semua.
Selesai
berziarah, Kami segera pulang. Khawatir Bibi mencari Kami.
Hari
berganti dengan hari. Waktu berganti dengan waktu. Tahun berganti dengan tahun.
10 tahun kemudian. Aku telah menjadi seorang penulis terkenal. Sudah banyak
novel, cerpen, dan masih banyak lagi. Sejak SD Aku memang sudah suka mengarang
. Ada dua novel karyaku yang sudah di buat film. Dua cerita itu tentang
kejadian nyata ku saat masih kecil dulu. Kehidupanku sudah tidak suram lagi.
Sekarang Vika menjadi seorang mahasiswi jurusan perawat. Dan, Ibu sudah tidak
bekerja lagi. Ibu sudah tidak mampu bekerja lagi. Sekarang gantian. Aku lah
yang bekerja untuk Ibu. Ibu sangat bahagia melihat kedua putri nya sudah
sukses. Sekarang Kami mempunyai rumah di Jakarta. Rumah yang di Desa sudah Kami
jual untuk biaya kuliah Kami. Saat ini, Aku kuliah sambil kerja. Untuk
mencukupi kehidupan Kami.
”Bu. Rencana
nya besok Aku dan Vika ingin ziarah ke makam Bapak. Apakah Ibu ingin ikut?”
tanya Rahma. ”Tentu saja Ibu ingin ikut. Sudah lama sekali Ibu tidak ziarah ke
makam Bapak,” jawab Ibu. ”Ya sudah. Sekarang, Ibu istirahat. Agar besok Kita
jalan, Ibu sehat bugar,” lanjut Vika. ”Siap komandan,” jawab Ibu. ”Hahaha. Ibu
bisa saja,” Rahma tertawa mendengar dan melihat kelakuan Ibu nya. Ibu pun masuk
ke kamar. ”De”, ”Iya kak?” jawab Vika. ”Kakak sangat bahagia sekali. Karena
kehidupan Kita tidak suram lagi. Tidak ada lagi jualan-jualan, sedih, dan
lain-lain,” Rahma tersenyum. ”Iya kak. Aku juga sangat bersyukur karena Allah
telah mengabulkan do’a Kita,” jawab Vika. ”Sekarang yang paling penting adalah,
Kita harus membagi waktu untuk mengurus Ibu. Karena hanya Ibu yang Kita miliki
saat ini,”, ”Benar sekali kak,” jawab Vika. Ketika Aku sedang berbicara dengan
Vika, tiba-tiba saja mataku tertuju ke arah foto Bapak. Aku pun mengambil foto
Bapak. “Andai saja Bapak masih ada. Bapak pasti sangat senang melihat Kita
sudah sukses,” memegangi foto Bapak. Vika mengangguk tanda setuju dengan yang
di katakana kakak nya itu.
Keesokan
hari nya
Kami telah
sampai di makam Bapak. Makam Bapak tetap terjaga walaupun Kami jarang
berziarah. Karena Aku membayar orang untuk membersihkan makam Bapak.
”Mas. Ini
aku, Sri. Sudah lama sekali Aku tidak menengok Mas. Karena Aku sudah tidak kuat
untuk jalan jauh. Mas. Anak-anak Kita sudah sukses. Impian kita terkabul Mas.
Ya walaupun Mas tidak bisa bersama-sama dengan Kami. Aku tahu, pasti Mas juga
senang melihat kedua putri Kita sudah sukses,” ucap Ibu. Perkataan Ibu cukup
membuat Kami meneteskan air mata. “Rahma, Vika. Bacakan Surah Al-Fatihah dan
doakan agar Bapakmu di terima di sisi Allah SWT,” lanjut Ibu. Aku dan Vika
mengangguk. Untuk kesekian kali nya, Aku meneteskan air mata di atas makam Bapak. Aku belum bisa melupakan
sosok seorang Bapak yang sangat sayang kepada keluarga. Aku menangis sesegukan.
Vika pun sama. Kami akan selalu menyayangi kedua orang tua Kami. Sebagaimana orang tua yang telah
mendidik Kami sampai ke pendidikan tertinggi.
TAMAT